PERGERAKAN MAHASISWA: ANTARA IDEALITA DAN REALITA
Gerakan Mahasiswa adalah perbincangan yang selalu menarik karena gerakan mahasiswa akan selalu ada mengiringi sejarah indonesia ini bahkan dunia. Gerakan Mahasiswa yang dimulai sejak abad ke 12 dan 13, telah banyak memberikan sumbangan dalam membangun peradaban dunia. Sebagai contoh keikut sertaan gerakan mahasiswa dalam membangun indonesia adalah pada Peristiwa Sumpah pemuda (1928), Peristiwa Rengas dengklok (1945), Peristiwa berakhirnya ORLA (1966), Aksi Malari (1972), Peristiwa Penggulingan Soeharto (1998) dan lain sebagainya.
Untaian sejarah mahasiswa pada zamannya itu memberikan indikasi bahwa mahasiswa mempunyai tanggung jawab yang lebih jika dibandingkan dengan elemen masyarakat lain, dua gelar yang disandang yaitu agent of change and agent of social control harus di respon dengan sebuah kesadaran. Kesadaran yang tumbuh dari setiap mahasiswa bahwa ia tidak saja mesti menyelesaikan tugas-tugas akademik di kampus, namun juga mesti mampu menyelesaikan problem-problem sosial kemasyarakatan yang ternyata jauh lebih rumit ketimbang belajar teorinya dan baca buku di dalam kelas. Keseimbangan dua aspek tadi yakni teori dan praktik setidaknya akan membentuk pemahaman yang utuh.
Mahasiswa bisa diibaratkan adalah sosok intelektual muda yang nantinya diharapkan bisa menjadi cendikiawan. Tentu tidak mudah menapaki jalan hidup ke sana, penuh luka dan liku. Karena menjadi seorang cendekiawan yang konsisten kadangkala mesti berseberangan dengan penguasa yang bisa jadi jalan yang dipilihnya itu menyeret pada pengapnya "hotel prodeo" alias penjara. Inilah jalan kaum intelektual yang tetap meneriakkan kebenaran ketika semua orang tiarap. Inilah risiko yang mesti ditanggung Seorang cendekiawan yang lurus yang bisa dipastikan akan lebih banyak menemui badai ketimbang damai.
Menurut Julien Benda, cendekiawan tidak boleh terikat oleh sekat-sekat budaya, ras, bahasa, bangsa, dan geografi tetapi Ia harus merasa sebagai unit komunitas global sejati. Dalam perang sekalipun, ia tidak harus membela dan berpihak pada bangsanya. Ia selalu berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Adagium right or wrong is my country, tidak ada dalam kamus mereka. Hal ini erbeda dengan sosok cendekiawan, menurut Benda, semua jenis aktivitas politik merupakan rezim militerisme dan jiwa kolektif dari realisme, materalisme, praktikalisme, dan aktivisme. Oleh karena itu cendekiawan tidak boleh terlibat dalam politik, militer dan diplomasi. Memasuki dunia itu berarti minimal terlibat-menyebarkan kebencian terhadap ras lain, fraksi politik, dan sangat bangga dengan nasionalisme.
Fenomena hari ini menjelaskan bahwa dari tahun ke tahun rasa kepedulian mahasiswa terhadap masyarakat agaknya mengalami penurunan yang cukup berarti, mereka telah dininabobokan oleh budaya hedonisme dan terjerat ke dalam kubangan kapitalisme. Dua budaya ini lamat-lamat memasuki relung kehidupan kita tanpa sadar. Sederhana saja jika kita ingin melihat fenomena ini. Cobalah bandingkan lebih banyak mana mahasiswa yang kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang) dengan mahasiswa yang kura-kura (kuliah rapat, kuliah rapat). Tentu kita akan lebih banyak menyaksikan yang pertama ketimbang yang kedua. Persoalannya tentu tidak sederhana. Mereka dikirim orang tua untuk menuntut ilmu memang iya, namun yang mesti harus kita sadari bahwa menjadi mahasiswa adalah sebuah pilihan, dan memilih sesuatu akan meniscayakan sebuah konsekuensi yang mesti ditanggung oleh setiap personal. Tanggung jawab mahasiswa adalah mewujudkan masyarakat adil makmur dengan lebih mengedepankan kepentingan rakyat kecil ketimbang kepentingan dirinya (hanya berkuliah saja).
Yang lebih parah lagi, budaya hedonis berkembang di kampus, menyebar begitu cepat bak jamur di musim hujan. Rasanya jarang sekali terdengar percakapan yang akademis di lingkungan mahasiswa. Sedangkan percakapan non akademis kerap kali terdengar. Ini ironis, mengingat mahasiswa adalah corak intelektualitas dan akademis. Sepertinya, perbincangan seputar intelektualitas adalah produk serta fakta yang langka ditemukan dalam kehidupan mahasiswa masa kini. Ibarat “mencari jarum dalam tumpukan jerami”. Inilah gambaran kondisi mahasiswa saat ini beserta gerakannya.
Kondisi semacam ini diperparah oleh Gerakan mahasiswa yang lingkupnya merosot hanya pada tataran kampus saja, masih diperparah dengan kecil presentase mereka yang aktif dan serta rendahnya tingkat kepedulian mereka. Jangankan untuk peduli pada negara, kebijakan pada tingkat kampus (rektorat) pun jarang direspon atau dihiraukan. Apatis, itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sikap para mahasiswa masa kini beserta gerakan-gerakannya.
Oleh karena itu sesungguhnya di samping keheroikan label mahasiswa yang begitu "gagah" di depan masyarakat, juga menuntut pembuktian atas hal itu. Dalam pandangan masyarakat (terutama pedesaan) memandang bahwa mahasiswa itu bagai malaikat yang mampu menyelesaikan apa pun, meskipun hal itu bukan jurusan dikampusnya.
Karakter mahasiswa adalah mereka yang segi akademisnya baik (IPK diatas rata-rata), Basic organisasi kuat, Santun dalam bertingkah cerdas dalam berfikir (ahlakul kharimah), dan menjadi panutan mahasiswa lainnya. Selain itu juga Mampu me-manage (mengatur) waktu, dan Mampu melakukan perubahan dimanapun dia berada.
Jika anda sebagai mahasiswa mempunyai semua kriteria seperti diatas, maka anda layak menyandang predikat sebagai aktivis mahasiswa sejati. Jika belum, maka baiknya Penulis sarankan anda banyak belajar dan belajar selain itu berkaderlah di organisasi HMI yang bertujuan terbinanya insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridlai Allah SWT.
Untaian sejarah mahasiswa pada zamannya itu memberikan indikasi bahwa mahasiswa mempunyai tanggung jawab yang lebih jika dibandingkan dengan elemen masyarakat lain, dua gelar yang disandang yaitu agent of change and agent of social control harus di respon dengan sebuah kesadaran. Kesadaran yang tumbuh dari setiap mahasiswa bahwa ia tidak saja mesti menyelesaikan tugas-tugas akademik di kampus, namun juga mesti mampu menyelesaikan problem-problem sosial kemasyarakatan yang ternyata jauh lebih rumit ketimbang belajar teorinya dan baca buku di dalam kelas. Keseimbangan dua aspek tadi yakni teori dan praktik setidaknya akan membentuk pemahaman yang utuh.
Mahasiswa bisa diibaratkan adalah sosok intelektual muda yang nantinya diharapkan bisa menjadi cendikiawan. Tentu tidak mudah menapaki jalan hidup ke sana, penuh luka dan liku. Karena menjadi seorang cendekiawan yang konsisten kadangkala mesti berseberangan dengan penguasa yang bisa jadi jalan yang dipilihnya itu menyeret pada pengapnya "hotel prodeo" alias penjara. Inilah jalan kaum intelektual yang tetap meneriakkan kebenaran ketika semua orang tiarap. Inilah risiko yang mesti ditanggung Seorang cendekiawan yang lurus yang bisa dipastikan akan lebih banyak menemui badai ketimbang damai.
Menurut Julien Benda, cendekiawan tidak boleh terikat oleh sekat-sekat budaya, ras, bahasa, bangsa, dan geografi tetapi Ia harus merasa sebagai unit komunitas global sejati. Dalam perang sekalipun, ia tidak harus membela dan berpihak pada bangsanya. Ia selalu berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Adagium right or wrong is my country, tidak ada dalam kamus mereka. Hal ini erbeda dengan sosok cendekiawan, menurut Benda, semua jenis aktivitas politik merupakan rezim militerisme dan jiwa kolektif dari realisme, materalisme, praktikalisme, dan aktivisme. Oleh karena itu cendekiawan tidak boleh terlibat dalam politik, militer dan diplomasi. Memasuki dunia itu berarti minimal terlibat-menyebarkan kebencian terhadap ras lain, fraksi politik, dan sangat bangga dengan nasionalisme.
Fenomena hari ini menjelaskan bahwa dari tahun ke tahun rasa kepedulian mahasiswa terhadap masyarakat agaknya mengalami penurunan yang cukup berarti, mereka telah dininabobokan oleh budaya hedonisme dan terjerat ke dalam kubangan kapitalisme. Dua budaya ini lamat-lamat memasuki relung kehidupan kita tanpa sadar. Sederhana saja jika kita ingin melihat fenomena ini. Cobalah bandingkan lebih banyak mana mahasiswa yang kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang) dengan mahasiswa yang kura-kura (kuliah rapat, kuliah rapat). Tentu kita akan lebih banyak menyaksikan yang pertama ketimbang yang kedua. Persoalannya tentu tidak sederhana. Mereka dikirim orang tua untuk menuntut ilmu memang iya, namun yang mesti harus kita sadari bahwa menjadi mahasiswa adalah sebuah pilihan, dan memilih sesuatu akan meniscayakan sebuah konsekuensi yang mesti ditanggung oleh setiap personal. Tanggung jawab mahasiswa adalah mewujudkan masyarakat adil makmur dengan lebih mengedepankan kepentingan rakyat kecil ketimbang kepentingan dirinya (hanya berkuliah saja).
Yang lebih parah lagi, budaya hedonis berkembang di kampus, menyebar begitu cepat bak jamur di musim hujan. Rasanya jarang sekali terdengar percakapan yang akademis di lingkungan mahasiswa. Sedangkan percakapan non akademis kerap kali terdengar. Ini ironis, mengingat mahasiswa adalah corak intelektualitas dan akademis. Sepertinya, perbincangan seputar intelektualitas adalah produk serta fakta yang langka ditemukan dalam kehidupan mahasiswa masa kini. Ibarat “mencari jarum dalam tumpukan jerami”. Inilah gambaran kondisi mahasiswa saat ini beserta gerakannya.
Kondisi semacam ini diperparah oleh Gerakan mahasiswa yang lingkupnya merosot hanya pada tataran kampus saja, masih diperparah dengan kecil presentase mereka yang aktif dan serta rendahnya tingkat kepedulian mereka. Jangankan untuk peduli pada negara, kebijakan pada tingkat kampus (rektorat) pun jarang direspon atau dihiraukan. Apatis, itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sikap para mahasiswa masa kini beserta gerakan-gerakannya.
Oleh karena itu sesungguhnya di samping keheroikan label mahasiswa yang begitu "gagah" di depan masyarakat, juga menuntut pembuktian atas hal itu. Dalam pandangan masyarakat (terutama pedesaan) memandang bahwa mahasiswa itu bagai malaikat yang mampu menyelesaikan apa pun, meskipun hal itu bukan jurusan dikampusnya.
Karakter mahasiswa adalah mereka yang segi akademisnya baik (IPK diatas rata-rata), Basic organisasi kuat, Santun dalam bertingkah cerdas dalam berfikir (ahlakul kharimah), dan menjadi panutan mahasiswa lainnya. Selain itu juga Mampu me-manage (mengatur) waktu, dan Mampu melakukan perubahan dimanapun dia berada.
Jika anda sebagai mahasiswa mempunyai semua kriteria seperti diatas, maka anda layak menyandang predikat sebagai aktivis mahasiswa sejati. Jika belum, maka baiknya Penulis sarankan anda banyak belajar dan belajar selain itu berkaderlah di organisasi HMI yang bertujuan terbinanya insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridlai Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar